Sabtu, 02 Juni 2012

Askep Gadar Hipoglikemia


A.    Konsep dasar medis
1.    Pengertian
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl. Adapun batasan hipoglikemia adalah:
·         Hipoglikemia murni : ada gejala hipoglikemi , glukosa darah < 60 mg/dl
·         Reaksi hipoglikemia : gejala hipoglikemi bila gula darah turun mendadak, misalnya dari 400 mg/dl menjadi 150 mg/dl
·         Koma hipoglikemi : koma akibat gula darah < 30 mg/dl
·         Hipoglikemi reaktif : gejala hipoglikemi yang terjadi 3-5 jam sesudah makan

2.    Anatomi fisiologi


·         Pengaturan Kadar Glukosa Darah
Peristiwa glukoneogenesis berperan penting dalam penyediaan energi bagi kebutuhan tubuh , khususnya sistem saraf dan peredaran darah (eritrosit). Kegagalan glukoneogenesis berakibat FATAL, yaitu terjadinya DISFUNGSI OTAK yang berakibat KOMA dan kematian. Hal ini terjadi bilamana kadar glukosa darah berada di bawah nilai kristis. Nilai normal loboratoris dari glukosa dalam darah ialah : 65-110 ml/dl atau 3.6-6.1 mmol/L. Setelah penyerapan makanan kadar glukosa darah pada manusia berkisar antara 4.5-5.5 mmol/L. Jika orang tersebut makan karbohidrat kadarnya akan naik menjadi sekitar 6.5-7.2 mmol/L. Saat puasa kadar glukosa darah turun berkisar 3.3-3.9 mmol/L.
Pengaturan kadar glukosa darah dilakukan melalui mekanisme metabolik dan hormonal. Pengaturan tersebut termasuk bagian dari homeostatik. Aktivitas metabolik yang mengatur kadar glukosa darah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :
(1) Mutu dan jumlah glikokisis dan glukoneogenesis,
(2) Aktivitas enzim-enzim, seperti glokukinase dan heksokinase.
Hormon penting yang memainkan peranan sentral dalam pengaturan kadar glukosa darah adalah insulin. Insulin dihasikan dari sel-sel b dari pulau –pulau langerhans pankreas dan disekresikan langsung ke dalam darah sebagai reaksi langsung bila keadaan hiperglikemia.
Proses pelepasan insulin dari sel B pulau langerhans Pankreas dijelaskan sebagai berikut :
·         Glukosa dengan bebas dapat memasuki sel-sel B langerhans karena adanya Transporter glut 2. Glukosa kemudian difosforilasi oleh enzim glukokinase yang kadarnya tinggi. Konsentrasi glukosa darah mempengaruhi kecepatan pembentukan ATP dari proses glikolisis, glukoneogenesis, siklus kreb dan Electron Transport System di mitokondria.
·         Peningkatan produksi ATP akan menghambat pompa kalium (K+pump) sehingga membran dan mendorong terjadinya eksositosis insulin. Selanjutnya insulin dibawa darah dan mengubah glukosa yang kadarnya tinggi menjadi glikogen.
·         Enzim yang kerjanya berlawanan dengan insulin adalah glukoagon. Glukoagon dihasilkan sel-sel A langerhans pankreas. Sekresi hormon ini distimulasi oleh keadaan hipoglikemia. Bila glukoagon yang dibawa darah sampai di hepar maka akan mengaktifkan kerja enzim fosforilase sehingga
mendorong terjadinya glukoneogenesis.

3.     Etiologi
·      Overdosis insulin
·      Penggunaan sulfonylurea
·      Aktivitas fisik yang berat
·      Keterlambatan makanan
·      Puasa
·      Kegagalan ginjal, hati, alcohol
·      Penurunan respon hormonal (adrenergik)

4.     Patofisiologi
Seperti sebagian besar jaringan lainnya, matabolisme otak terutama bergantung pada glukosa untuk digunakan sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak dapat memperoleh glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai dalam beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke dalam jaringan interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di dalam system saraf tersebut.
Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di suplai oleh darah menurun, maka akan mempengaruhi juga kerja otak. Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah dapat dilihat ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM). Saat kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM), sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat menghasilkan koma.
5.     Manifestasi klinis
Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari dua fase, yaitu :
a.       Fase I         : gejala-gejala akibat aktivasi pusat otonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin masih dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga dapat di ambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.
b.    Fase II        : gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu dinamakan gejala neurologis. Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Gejala yang menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara perlahan maupun secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral. Pada penderita tumor pankreas penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman, terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu, tetapi lama-lama serangan lebih sering terjadi dan lebih berat.
6.      Pemeriksaan diagnostik
v  Prosedur khusus: Untuk hipoglikemia reaktif tes toleransi glukosa postpradial oral 5    jam menunjukkan glukosa serum <50 mg/dl setelah 5 jam.
v  Pengawasan di tempat tidur: peningkatan tekanan darah.
v  Pemeriksaan laboratorium: glukosa serum <50 mg/dl, spesimen urin dua kali negatif terhadap glukosa.
v  EKG: Takikardia.

7. Penatalaksanaan
Untuk terapi hipoglikemik adalah sebagai berikut :
a.    Hipoglikemi
·      Beri pisang/ roti/ karbohidrat lain, bila gagal
·      Beri teh gula, bila gagal tetesi gula kental atau madu dibawah lidah.
b.        Koma hipoglikemik
·      Injeksi glukosa 40% IV 25ml, infus glukosa 10%, bila belum sadar dapat diulang setiap ½ jam sampai sadar (maksimum 6x), bila gagal
·      Beri injeksi efedrin bila tidak ada kontraindikasi jantung dll 25-50 mg atau injeksi glukagon 1mg/IM, setelah gula darah stabil, infus glukosa 10% dilepas bertahap dengan glukosa 5% stop.


B.     Asuhan keperawatan gawat darurat

A.    Pengkajian
a)      Airway (jalan napas)
Kaji adanya sumbatan jalan napas. Terjadi karena adanya penurunan kesadaran/koma sebagai akibat dari gangguan transport oksigen ke otak.
Diagnosa keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d adanya benda asing
Intervensi  :
Ø  Kaji adanya sumbatan jalan napas (lidah jatuh ke belakang, sputum) sehubungan dengan penurunan kesadaran
R/  adanya sumbatan mempengaruhi proses respirasi
Ø  Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan
R/  Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan
Ø  Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa.
R/ sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir atau daun telinga). Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
Ø  Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan.
R/ bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara. Adanya mengik mengindikasikan spasme bronkus atau tertahannya secret.
Ø  Awasi tingkat kesadaran atau status mental dan  Selidiki adanya perubahan.
R/  Dapat menunjukkan peningkatan hipoksia atau komplikasi.
Ø  Pasang spatel
R/
b)      Breathing (pernapasan)
Merasa kekurangan oksigen dan napas tersengal – sengal , sianosis.
Diagnosa keperawatan ; Pola napas tidak efektif b/d adanya depresan pusat pernapasan.
Tujuan :Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
• RR 16-24 x permenit
• Ekspansi dada normal
• Sesak nafas hilang / berkurang
• Tidak suara nafas abnormal
intervensi :
Ø  Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernapasan.
R/ frekuensi dan kedalaman pernapasan menunjukan usaha pasien mendapatkan oksigen.
Ø  Auskultasi bunyi napas.
R/  Bunyi napas mungkinterjadi  redup karena penurunan aliran udara.
Ø  Pantau penurunan bunyi napas
R/ penurunan bunyi napas mengindikasikan
Ø  Pertahankan posisi semi fowler.
R/  untuk mengurangi sesak yang dialami klien.
Ø  Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernapasan
R/ mengindikasikan adanya  kemajuan dalam pengobatan.
Ø  Berikan oksigen sesuai advis Dokter
R/ Memaksimalkan sediaan O2.

c)      Circulation (sirkulasi)
Kebas , kesemutan dibagian ekstremitas, keringat dingin, hipotermi, nadi lemah, tekanan darah menurun.

Diagnosa ;  Gangguan perfusi jaringan b/d hipoksia jaringan. Ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema.
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :
• tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
• Tanda – tanda vital dalam batas normal
• Tidak adanya penurunan kesadaran
Intervensi :
Ø  Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart.
R/  Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, dan perkembangan kerusakan SSP.
Ø  Catat ada atau tidaknya refleks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan Babinski.
R/  Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap keamanan pasien. Kehilangan refleks berkedip mengisyaratkan adanya kerusakan pada daerah pons dan medulla. Tidak adanya refleks batuk meninjukkan adanya kerusakan pada medulla. Refleks Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur pyramidal pada otak.
Ø  Pantau tekanan darah
R/ tekanan darah yang menurun mengindikasikan terjadinya penurunan aliran darah ke seluruh tubuh.
Ø  Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai.
R/ adanya gelisah menandakan bahwa terjadi penurunan aliran darah ke hipoksemia.
Ø  Tinggikan kepala tempat tidur sekitar 15-45 derajat sesuai toleransi atau indikasi. Jaga kepala pasien tetap berada pada posis netral.
R/ Peningkatan aliran vena dari kepala akan menurunkan TIK.
Ø  Berikan oksigen sesuai indikasi
R/
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
d)     Disability (kesadaran)
Terjadi penurunan kesadaran, karena kekurangan suplai nutrisi ke otak.

Diagnose ; Resiko tinggi injuri b/d penurunan kesadaran.
Tujuan : mencegah terjadinya resiko injury sehubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : Pasien tidak mengalami injury.
Intervensi :

Ø  Berikan posisi dengan kepala lebih tinggi.
R/ Memonilisasi rangsangan yang dapat menurunkan TIK
Ø  Kaji tanda-tanda penurunan kesadaran.
R/ Menentukan tindakan keperawatan selanjutnya
Ø  Observasi TTV
R/ Mengetahui keadaan pasien
Ø  Atur posisi pasien untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R/ Perubahan posisi secara teratur menyebabkan penyebaran terhadap BB dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh
Ø  Beri bantuan untuk melakukan latihan gerak.
R/ melakukan mobilisasi fisik dan mempertahankan kekuatan sendi




e)      Exposure.
Pada exposure kita melakukan pengkajian secara menyeluruh. Karena hipoglikemi adalah komplikasi  dari penyakit DM kemungkinan kita menemukan adanya luka/infeksi pada bagian tubuh klien / pasien.

Senin, 28 Mei 2012

Asuhan Keperawatan Pertusis


ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar belakang
Di Negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, sebelum ditemukannya vaksin, angka kejadian dan kematian akibat menderita pertusis cukup tinggi. Ternyata 80% anak-anak dibawah umur 5 tahun pernah terserang penyakit pertusis, sedangkan untuk orang dewasa sekitar 20% dari jumlah penduduk total.
Dengan kemajuan perkembangan antibiotic dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. Namun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan terutama mengenai bayi-bayi dibawah umur.
Pertusis sangat infesius pada orang yang tidak memiliki kekebalan. Penyakit ini mudah menyebar ketika si penderita batuk. Sekali seseorang terinfeksi pertusis maka orang tersebut kebal terhadap penyakit untuk beberapa tahun tetapi tidak seumur hidup, kadang-kadang kembali terinfeksi beberapa tahun kemudian. Pada saat ini vaksin pertusis tidak dianjurkan bagi orang dewasa. Walaupun orang dewas sering sebagai penyebab pertusis pada anak-anak, mungkin vaksin orang dewasa dianjurkan untuk masa depan.
2.  Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami bagaimana membuat Asuhan Keperawatan masalah Pernapasan dengan gangguan Pertusis.
2.2 Tujuan Khusus
1.      Memahami definisi pertusis.
2.      Mengetahui etiologi terjadinya pertusis.
3.      Mengetahui patofisiologi terjadinya pertusis.
4.      Mengeidentifikasi manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada klien anak pertusis.
5.      Mengidentifikasi penatalaksanaan klien anak dengan pertusis.
6.      Merumuskan  asuhan keperawatan pada klien anak dengan pertusis meliputi  WOC, analisis data, pengkajian, diagnosis, intervensi.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Konsep Dasar Medik
1.      Defenisi
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000)
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran nafas yang menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir dengan inspirasi berbising. (Ramali, 2003)
Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993)
Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992)

2.      Anatomi Fisiologi
            
Gambar : Anatomi Sistem Pernafasan ( nurseindonesia, 2008)
a.       Anatomi Pernafasan
Adapun saluran pernafasan dibagi  menjadi dua bagian, yaitu:
1)      Anatomi saluran pernafasan atas
(a)    Hidung
Hidung merupakan saluran pernafasan pertama.
Rongga hidung terbagi atas :
·         Vestibulum yang dilapisi oleh sel mukosa sebagai proteksi
·         Dalam rongga hidung terdapat rambut (silia) yang berperan sebagai penapisan udara.
·         Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena strukturnya berlapis.
·         Sel silia yang berperan untuk melemparkan benda asing keluar dalam usaha untuk membersihkan jalan nafas.
(b)   Faring
Merupakan bagian belakang dari rongga hidung dan rongga mulut. Terdiri dari nasofaring (bagian yang berbatasan dengan rongga hidung), orofaring (yang berbatasan dengan rongga mulut), hipofaring (bagian dimana terjadi pemisahan antara udara dan makanan).
(c)    Laring
Walaupun fungsi utamanya adalah sebagai alat suara, akan terjadi di dalam saluran pernafasan fungsi sebagai jalan udara. Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.
2)      Anatomi saluran pernafasan bawah
(a)    Trakea
Merupakan lanjutan dari yang dibentuk oleh 16-20cincin tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda. Trakea bercabang ke kanan dan ke kiri sebagai bronkus pada karina.
(b)   Bronkus
Merupakan suatu struktur yang terdapat dalam mediastinum. Bronkus merupakan percabangan dari trakea yang merupakan bronkus utama kiri dan bronkus utama kanan. Panjangnya ±5 cm. Diameternya 11-19 cm dan luas penampang hanya 3,2 cm2. Percabangan dari trakea sebelum masuk ke mediastinum, dan sudut yang tajam yang dibentuk oleh percabangan ini disebut percabangan karina. Bronkus kanan lebih panjang dan sempit dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang tajam.
Bronkiolus Merupakan cabang terkecil dari bronkus yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah ± 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut pengantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai pengantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
(c)    Paru-Paru
Merupakan saluran penafasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada terletak sebelah kanan, kiri dan tengah dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletatak di dalam mediastinum.
Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut dengan apex (puncak) dan basis. Munculnya sedikit lebih tinggi dari klavikula di dalam dasar leher. Pangkal duduk di atas rongga, thorax di atas diafragma.
Paru-paru dibagi menjadi dua bagian yaitu : paru-paru kanan yang terdiri dari 3 lobos dan paru-paru kiri 2 lobus, lobus-lobus tersebut dibagi menjadi dua segmen. Paru-paru kanan dibagi lagi menjadi 10 segmen, sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 9 segmen.
Paru-paru mempunyai lapisan tipis yang continue mengandung kolagen dan jaringan elastis dikenal sebagai pleura melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura viseralis). Diantara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat cairan pleura yang memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisah thorax dan paru-paru.
Paru-paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel alveolar, sel alveolar tipe 1 adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Sel alveolar tipe II adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar yang tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositosis yang besar yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.

b.      Fisiologi Pernafasan
Proses fisiologi pernafasan dimana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan dan karbondioksida dikeluarkan ke udara, dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

1)      Ventilasi
Merupakan proses inspirasi dan ekspirasi yang merupakan proses aktif dan pasif yang mana otot-otot interkosta interna berkontraksi dan mendorong dinding pada sedikit ke arah luar, akibatnya diafragma turun dan otot diafragma berkontraksi. Pada ekspirasi diafragma dan otot  interkosta eksterna relaksasi dengan demikian rongga menjadi kecil kembali, maka udara terdorong keluar.
2)      Difusi Gas
Merupakan gerakan gas CO2 dan CO3 atau partikel lain dari area yang bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan rendah. Difusi gas melalui membran pernafasan yang dipengaruhi oleh faktor ketebalan membran. Luas permukaan membran, komposisi membran, koefisien difusi O2 dan CO2 serta perbedaan tekanan gas O2 dan CO2. Dalam difusi gas ini pernafasan yang berperan penting yaitu alveoli dan darah.
3)      Transportasi Gas
Perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru degan bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 ke dalam sel darah yang bergabung dengan hemoglobin yang kemudian membentuk oksihemoglobin sebanyak 97% dan sisa 3% yang ditransformasikan ke dalam cairan plasma dan sel.

3.      Etiologi
Pertusis pertama kali dapat diisolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu Bordetella pertusis, Bordetella Parapertusis, Boredetella Bronkiseptika, dan Bordetella Avium.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu bakteri gram negatif, tidak  bergerak,  dan ditemukan  dengan  melakukan  swab  pada  daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000).
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain :
a.       Berbentuk batang (coccobacilus).
b.      Tidak dapat bergerak.
c.       Bersifat gram negatif.
d.      Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um.
e.       Tidak berspora, mempunyai kapsul.
f.       Mati pada suhu  55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10ºC).
g.      Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik.
h.      Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap penicillin.
i.        Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain :
1)      Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin).
2)      Endotoksin (lipopolisakarida).
j.        Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa  dan adhesin yang dinamakan pertaktin.
k.      Menghasilkan beberapa antigen , antara lain :
1)      Toksin Pertusis (PT).
2)      Filamentous hemagglutinin (FHA).
3)      Pertactine 69-kDa OMP
4)      Aglutinogen fimbriae
5)      Adenylcyclase
6)      Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide)
7)      Tracheal cytotoxin
l.        Dapat dibiakkan de media pembenihan yang disebut berdet gengou (potato-blood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain.
Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :
ü  Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting        factor, Islet activating protein (IAP).
ü  Adenilat siklase luarsel.
ü  Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-   HA).
ü  Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella Pertusis seperti Bordete

4.      Patofisiologi
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan sub unit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
Cara penularan pertusis, melalui:
Ø  Droplet infection
Ø  Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
Ø  Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
Ø  Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit tersebut.
Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai.

5.      Manifestasi Klinis
Menurut Guinto-Ocampo H. (2006), periode inkubasi pertusis berkisar antara 3-12 hari. Pertussis merupakan penyakit 6 minggu (a 6-week disease) yang dibagi menjadi: stadium catarrhal, paroxysmal, dan convalescent.
a.       Stadium 1
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga catarrhal phase, stadium kataralis, stadium prodromal, stadium pre-paroksismal.
Stadium ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas dengan common cold, kongesti nasal, rinorea, dan bersin, dapat disertai dengan sedikit demam (low-grade fever), tearing, dan conjunctival suffusion.
Pada stadium ini, pasien sangat infeksius (menular) namun pertusis dapat tetap menular selama tiga minggu atau lebih setelah onset batuk. Kuman paling mudah diisolasi juga pada stadium ini.
Menurut Rampengan (2008), masa inkubasi pertusis 6-10 hari (rata-rata 7 hari), perjalanan penyakitnya berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Adapun manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1)      Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, yaitu dengan timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih.
2)      Infeksi konjungtiva, lakrimasi.
3)      Batuk dan panas yang ringan.
4)      Kongesti nasalis
5)      Anoreksia
Batuk yang timbul mula-mula pada malam hari, lalu siang hari, dan menjadi semakin hebat. Sekret banyak, menjadi kental dan lengket. Pada bayi, lendir mukoid sehingga menyebabkan obstruksi jalan nafas, dimana bayi terlihat sakit berat dan iritabel.
b.      Stadium 2
Stadium ini berlangsung 2-4 minggu atau lebih. Stadium ini disebut juga paroxysmal phase, stadium akut paroksismal, stadium paroksismal, stadium spasmodik. Penderita pada stadium ini disertai batuk berat yang tiba-tiba dan tak terkontrol (paroxysms of intense coughing) yang berlangsung selama beberapa menit. Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tidak disertai whoop yang khas namun dapat disertai episode apnea (henti nafas sementara) dan berisiko kelelahan (exhaustion).
Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1)      Whoop (batuk yang berbunyi nyaring), sering terdengar pada saat penderita menarik nafas di akhir serangan batuk.
2)      Batuk 5-10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernafas, dan di akhir serangan batuk anak menarik nafas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.
3)      Selama serangan (batuk), muka penderita menjadi merah atau sianosis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar, dan gelisah. Juga tampak pelebaran pembuluh darah yang jelas di kepala dan leher, petekie di wajah, perdarahan subkonjungtiva dan sclera, bahkan ulserasi frenulum lidah.
4)      Di akhir serangan, penderita sering memuntahkan lendir kental.
5)      Setelah 1 atau 2 minggu, serangan batuk makin menghebat

c.       Stadium 3
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu. Stadium ini disebut juga stadium konvalesens.
            Menurut Guinto-Ocampo H. (2006) dan Garna H., et.al. (2005), pada stadium konvalesens, batuk dan muntah menurun. Namun batuk yang terjadi merupakan batuk kronis yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu.
Dapat terjadi petekie pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dapat terjadi ronki difus.

Menurut Rampengan (2008), manifestasi klinis pada stadium ini adalah:
1)      Whoop dan muntah berhenti.
2)       Batuk biasanya masih menetap dan segera menghilang setelah 2-3 minggu.
3)       Beberapa penderita akan timbul serangan batuk paroksismal kembali    dengan whoop dan muntah-muntah. Episode ini terjadi berulang dalam beberapa bulan bahkan hingga satu atau dua tahun, dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran nafas bagian atas yang berulang.

6.      Tes Diagnostik
a.       Pemeriksaan sputum
b.      Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c.       ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
d.      Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e.       Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f.       Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g.      Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h.      Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial edema) dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild peribronchial cuffing, atau empiema.Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder atau pertussis pneumonia (jarang).Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat.
Radiography tidak diindikasikan pada pasien dengan tanda-tanda vital (vital signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh.

7.      Komplikasi
Komplikasi dari pertusis adalah sebagai berikut:
a.       Sistem pernafasan
Dapat terjadi otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis yang disebabkan   sumbatan   mukus,   emfisema,   bronkietaksis, dan tuberculosis yang sudah ada menjadi bertambah berat.
b.      Sistem pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak menjadi kurus sekali), prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga stomatitis.
c.       Susunan saraf
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak.
d.      Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.

8.      Penatalaksanaan
Menurut Garna, et.al. (2005), terapi pertusis adalah :
a.       Suportif
1)      Isolasi (1-2 minggu).
2)      Mencegah faktor yang merangsang batuk (debu, asap rokok).
3)      Mempertahankan status nutrisi dan hidrasi.
4)      Oksigen bila sesak nafas.
5)      Pengisapan lendir.
6)      Obat untuk mengurangi batuk paroksismal dengan kortikosteroid (betametason) dan salbutamol (albuterol).
b.      Eradikasi bakteri
Pilihan obat yang dapat diberikan adalah :
1)      Eritromisin
Dosis: 40-50 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 2 gram/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
2)      Klaritromisin
Dosis: 15-20 mg/Kg berat badan/hari, maksimal 1 gram/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari.
3)      Azitromisin
Dosis: 10 mg/Kg berat badan/hari, sehari 1x, p.o., dibagi selama 5 hari.
4)      Kotrimoksasol
Dosis: 50 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 2 dosis, selama 14 hari.
5)      Ampisilin
Dosis: 100 mg/Kg berat badan/hari, p.o., dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.
Sedangkan Guinto-Ocampo (2006) mengusulkan penatalaksanaan pertusis sebagai berikut :
a.    Antibiotik
1)      Erythromycin
(a)    Nama Dagang di Amerika: EES, E-Mycin, Eryc, Ery-Tab, Erythrocin.
(b)   Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein synthesis berhenti.
(c)    Dosis dewasa:
250 mg (erythromycin stearate/base) atau 400 mg (ethylsuccinate) PO q6h 1 h ac, atau 500 mg (stearate/base) q12h.
Alternatif lainnya, 333 mg (stearate/base) q8h, dapat ditingkatkan hingga 4 g/hari tergantung dari beratnya infeksi.
(d)   Dosis anak-anak
40-50 mg/kg/hari (stearate/base) PO dibagi qid; tidak melebihi 2 g/hari.
Garam estolate dapat digunakan pada bayi karena penyerapan yang lebih efektif.
2)      Azithromycin
(a)    Nama Dagang di Amerika: Zithromax
(b)   Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein synthesis berhenti.
(c)    Dosis dewasa:
500 mg PO pada hari pertama, lalu 250 mg/hari selama 4 hari berikutnya (total 5 hari)
(d)   Dosis anak-anak
10-12mg/kg/hari PO selama 5 hari.
3)      Clarithromycin
(a)    Nama Dagang di Amerika: Biaxin
(b)   Mekanisme kerja
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghalangi disosiasi peptidyl tRNA dari ribosom menyebabkan RNA-dependent protein synthesis berhenti.
(c)    Dosis dewasa:
500 PO bid untuk 7-10 hari.
(d)   Dosis anak-anak
15-20 mg/kg PO dibagi bid selama 5-7 hari; tidak melebihi g/hari.
4)      Trimethoprin-sulfamethoxazole
(a)    Nama Dagang di Amerika:Bactrim, Septra, Cotrim
(b)   Mekanisme kerja:
Menghambat pertumbuhan bakteri, dengan menghambat sintesis dihydrofolic acid. Obat alternatif, namun kemanjurannya (efficacy) belum terbukti untuk pertusis.
(c)    Dosis dewasa:
160 mg (trimethoprim component) / 800 mg (sulfamethoxazole component) PO bid selama 7-10 hari (misalnya: 1 DS tab bid)
(d)   Dosis anak-anak
<2 bulan: kontraindikasi.
>2 bulan: 6-10 mg/kg/hari (berdasarkan komponen trimethoprim) PO dibagi q12h untuk 7-10 hari.
b.    Vaksin
Imunisasi aktif meningkatkan kekuatan melawan (resistance) infeksi. Vaksin terdiri dari mikroorganisme atau komponen seluler yang bertindak sebagai antigen. Pemberian vaksin menstimulasi produksi antibodi dengan specific protective properties.
Semua anak berusia kurang dari 7 tahun haruslah menerima vaksin pertusis. Di Amerika Serikat, vaksin pertusis acellular direkomendasikan dan biasanya dikombinasikan dengan diphtheria and tetanus toxoids (DTaP).
Vaksin tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun terbukti dapat memperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
1)      DtaP
(a)    Nama Dagang di Amerika: Tripedia, Certiva, Infanrix.
(b)   Dosis Dewasa:
0,5 mL IM toksoid tetanus dan difteri (Td) dan dosis menurut riwayat vaksin.
(c)    Dosis anak-anak
0,5 mL IM pada usia 2, 4, 6, 15-18 bulan, dan 4-6 tahun.
7-18 tahun jadwal catch-up untuk imunisasi primer: 0,5 mL IM Td untuk 3 dosis. Berilah jarak 4 minggu di antara dosis pertama dan kedua, dan 6 bulan di antara dosis kedua dan ketiga; ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga (boleh mengganti Tdap untuk dosis jika usia sesuai)
(d)   Dosis booster remaja (10-18 tahun): Tdap 0,5 mL IM sekali, dosis tunggal.
2)      Tdap
(a)    Nama Dagang di Amerika: Adacel, Boostrix.
(b)   Dosis dewasa:
0,5 mL IM sekali sebagai dosis tunggal, diberikan melalui musculus deltoideus. Booster dengan Td direkomendasikan q10y
Lebih dari 65 tahun: tidak diindikasikan.
(c)    Dosis anak-anak
<10 tahun: tidak diindikasikan.
10-18 tahun: diberikan sesuai dengan dosis dewasa.
Pertussis-specific immune globulin merupakan produk investigational yang mungkin efektif untuk mengurangi batuk paroksismal namun masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.

B.     Konsep Dasar Keperawatan
1.    Pengkajian
a.    Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan  kesehatan
DS : - Pasien mengatakan sering batuk-batuk.
DO : -Tampak lemah.
b.    Pola nutrisi dan metabolik
DS : - Nafsu makan hilang.
      - Mual/muntah.
DO : - Turgor kulit buruk.
        - Penurunan massa otot.
        - Penurunan BB.
c.    Pola eliminasi
DS  : - BAB dan BAK lancar.
DO : - Urine berbau amoniak dan berwarna kuning.
d.   Pola aktivitas dan latihan.
DS : Batuk panjang, kelelahan, demam ringan.
DO : Sesak, kelelahan otot dan nyeri.
e.    Pola tidur dan istirahat
DS : - Mudah terbangun.
DO : - Gelisah
f.     Pola persepsi kognitif
DS : - Pasien mengatakan komunikasi terhambat akibat batuknya.
DO : - Nyeri
         - Mual
g.    Pola persepsi dan konsep diri
DO : - Gelisah
h.    Pola peran dan hubungan dengan sesama
DO : - ­­dirawat di tempat khusus.
i.      Pola reproduksi dan seksualitas
DS : - Penurunan gairah seksual.
DO: - Keadaan umum lemah, ketidakmampuan beraktivitas.
j.      Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
DS : - Pasien mengatakan stres terhadap batuk yang dialaminya.
DO : - Gelisah.
k.    Pola sistem kepercayaan
DS : - Pasien mengatakan mengalami kesejahteraan spiritual.
DO : - Rajin beribadah.

2.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang bisa muncul :
a.    Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret.
b.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.
c.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi-ventilasi.
d.   Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
e.    Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.

3.    Intervensi Keperawatan
a.    Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret ditandai dengan :
-       Frekuensi nafas tidak normal.
-       Batuk dan adanya secret.
-       Bunyi nafas tidak efektif.
Hasil Yang Diharapkan : - Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas.
-       Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
-       Menunjukkan perilaku untuk memperbiki/ mempertahankan bersihan jalan nafas.
-       Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam tingkat kemampuan/situasi.
Intervensi :
1)   Auskultasi bunyi nafas (misal : mengi)
R/ untuk mengidentifikasi adanya obstruksi jalan nafas yang membahayakan    oksigenasi.
2)   Kaji /pantau frekuensi pernafasan.
R/ untuk mengetahui adanya penurunan dan peningkatan frekuensi pernafasan.
3)   Berikan pasien posisi semi fowler.
R/ untuk membantu memaksimalkan ekspansi paru.
4)   Ajarkan pasien melakukan batuk efektif.
R/ untuk membersihkan jalan nafas dan membantu komplikasi pernafasan.
5)   Anjurkan untuk minum air hangat.
R/ untuk membantu mengencerkan sekret.
6)   Kolaborasi dengan dokter dalam hal pemberian obat antibiotik.
R/ untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan meringankan batuk.

b.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah, ditandai dengan :
-       Penurunan BB
-       Kelemahan
-       Anoreksia
Hasil Yang Diharapkan : menunjukan peningkatan BB.
Intervensi :
1)   Timbang berat badan pasien secara rutin
R/ untuk mengetahui adanya peningkatan berat badan pasien.
2)   Catat status nutrisi.
R/ untuk mengetahui pemasukan makanan.
3)   Awasi pemasukan/pengeluaran makanan secara periodik.
R/ berguna dalam mengukur jumlah nutrisi.
4)   Anjurkan untuk banyak istirahat.
R/ membantu menghemat energi khususnya bila metabolik meningkat saat demam.
5)   Kolaborasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan komposisi diit.
R/ memberi bantuan dalam perencanaan diit.

c.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi- ventilasi, ditandai dengan :
-       Sianosis
-       Hipoksemia
Hasil Yang Diharapkan : Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tak ada gejala distres pernafasan.
Intervensi
1)   Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan dan kronisnya proses penyakit.
2)   Awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
R/ sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir attau daun telinga). Keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
3)   Auskultasi bunyi nafas, caat area penurunan aliran udara atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsulidasi.
4)   Dorong mengeluarkan sputum, pengisapan bila diindikasikan.
R/ kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil. Penghisapan dibutuhkan jika batuk tidak efektif.
5)   Kolaborasi dengan dokter dalam hal pengawasan GDA
R/ penurunan kandungan oksigen (PaO2) dan saturasi atau peningkatan PaCO2 menunjukkkan kebutuhan untuk intervensi/perubahan program terapi.

d.   Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
Hasil yang diharapkan   : Pasien dapat melakukan aktivitas dan memenuhi
kebutuhannya secara mandiri dalam jangka waktu 5-6 hari.
Intervensi
1)  Tingkatkan tirah baring/duduk.
R/ Aktivitas dan posisi duduk tegak diyakini menurunkan aliran darah ke kaki, yang mencegah sirkulasi optimal ke sel hati.
2)   Lakukan latihan rentang gerak sendi pasif/aktif
R/ Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan. Ini dapat terjadi karena keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
3)   Berikan aktivitas hiburan yang tepat
R/ Meningkatkan relaksasi dan penghematan energi, memusatkan kembali perhatian dan dapat meningkatkan koping.
4)  Awasi terulangnya anoreksia dan nyeri tekan pembesaran hati
R/ Menunjukkan kurangnya resolusi/eksaserbasi penyakit serta memerlukan istirahat lanjut dan mengganti program terapi.
5)   Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan pasien.
R/ dengan di bantu, kebutuhan pasien dapat terpenuhi.
6)  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian sedative, agen antiansietas sesuai indikasi.
R/ Membantu dalam manajemen kebutuhan tidur.

e.    Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi.
Hasil Yang Diharapkan : suhu tubuh kembali dalam keadaan normal
Intervensi
1)   Monitoring perubahan suhu tubuh.
R/ Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien.
2)   Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan sekret
R/ Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
3)   Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar
R/ Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk kedalam tubuh.
4)   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan (inflamasi)
R/ Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)

C.    Daftar Pustaka
Manjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran,  Edisi 3, Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
Doenges, Marilynn, E. dkk. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
http://solikhulhadi98.wordpress.com/2010/09/22/askep-pertusis/